Jumat, 18 Februari 2011

pemburu batu pulasan laut



Liburan yang lalu saya ketika meng­an­tar ibu untuk melihat kegiatan posyandu ter­padu (dalam hal ini melibatkan kesehatan ibu hamil, anak dan manula), mung­kin acara itu ber­akhir dengan baik, saya juga sem­pat “tanpa sengaja” men­dengar bahwa pemda tidak sedikit mem­berikan ang­garan agar acara ini dapat ter­seleng­gara dengan baik. Ada acara balita sehat, pemerik­saan rutin ibu hamil, dan senam manula, serta pengadaan makanan ber­gizi yang dilakukan pihak pus­kes­mas dibantu oleh ibu-ibu ang­gota PKK. Lokasinya ber­ada di Desa Cukcukan, yang merupakan salah satu desa tepian pan­tai di Kecamatan Gianyar. Yang aneh, mung­kin karena tidak ter­biasa men­dengar, adalah sebuah celetuk yang tak sengaja ter­tang­kap oleh pen­dengaran saya. Karena acara ini merupakan rang­kaian penutupan, para manula tam­pak ter­tawa senang ketika salah satu dari mereka ber­kata, “Yah…, sekarang bisa men­cari batu lagi”.
Saat itu saya belum memahami, apakah yang mereka per­bin­cangkan, hingga hari di mana saya meng­an­tarkan ibu ke acara per­pisahan akhir tahun Din­kes Kab. Gianyar di Pan­tai Masceti, ber­sebelahan dengan lokasi desa yang saya sam­paikan sebelum­nya. Pagi itu antara pukul 8 dan 9, saya ber­siap dengan Kodak EasyShare di tangan, sesuai dengan instruksi untuk meng­am­bil setiap momen yang unik dan menarik. Lang­kah kaki saya tak sengaja mem­bawa menuju ping­giran pan­tai yang lebih ren­dah dari batasan yang telah diting­gikan dengan ben­tangan tem­bok beton (abrasi di daerah ini juga cukup ter­kenal ganas). Aku cukup ter­kejut melihat jejeran manusia usia setengah baya ke atas saling tum­pang tin­dih bayangan­nya di han­tam men­tari pagi, sepan­jang pan­tai yang tak cukup pan­jang itu, puluhan dari mereka ber­jong­kok seakan seperti anak-anak yang sedang asyik bermain-main dengan pasir.
Tam­pak tangan-tangan yang telah cekatan meng­am­bil batu-batu hitam oval meng­kilap dengan cepat dan memasuk­kan­nya ke ember-ember sedang, ber­gerak per­lahan dalam hem­busan angin yang tak kenal henti, mem­bawa serta bulir air yang telah pecah oleh ombak yang meng­hem­pas­kan­nya ke ping­giran pan­tai. Tam­pak­nya mereka meng­um­pulkan batu-batu itu untuk dijual, karena batu-batu yang telah rapi itu oleh peng­halusan secara alami di antara arus ombak dan pasir bisa ber­arti tam­bahan ekonomi bagi keluarga. Aku melihat tam­pak­nya mereka begitu teng­gelam tidak oleh lautan, namun oleh apa yang diberikan lautan sehingga mereka dapat hidup, bukan dari apa yang hidup di lautan, namun ben­tuk kehidupan yang lebih diam dan lebih ter­ben­tuklah yang diberikan.
Hmm…, aku ber­pikir…, mung­kin daripada senam setiap pagi, aku kini meng­erti jika mereka lebih menyukai men­cari batu pulasan laut ini, karena mereka dapat hidup olehnya.

0 komentar:

Posting Komentar